Tuesday 14 January 2014

MICROFINANCE

PENGERTIAN MICROFINANCE


Microfinance berasal dari kata "micro" yang berarti micro enterprises (usaha mikro) dan "finance" yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti "pembiayaan". dari kedua istilah tersebut dapat diartikan bahwa microfinance berarti pembiayaan untuk usaha mikro. Usaha mikro banyak yang mengartikannya, menurut penulis usaha mikro adalah suatu bisnis yang dijalankan dengan skala mikro. skala mikro adalah mereka yang memiliki usaha dengan volume usaha (omset) tidak lebih dari Rp. 100juta pertahun dan modal kerja yang dimiliki tidak lebih dari Rp.25juta, dengan penghasilan tidak lebih dari $2 perhari. ciri-ciri yang lain adalah biasanya tidak memiliki legalitas usaha, sehingga tidak terakses oleh BANK.
microfinance mengandung tiga elemen utama yang membedakannya dengan sistem intermediasi keuangan lainnya seperti perbankan yaitu:
1. Batasan transaksi
Nilai transaksi microfinance tidak bersifat universal artinya tidak ada konvensi internasional yang menetapkan nilai transaksi yang masuk kategori kecil atau mikro. Di Indonesia, nilai transaksi microfinance hanya dirumuskan pada batasan kredit mikro saja yakni maksimum Rp50 juta. Sedangkan untuk transaksi keuangan lainnya seperti simpanan, asuransi,remittance, sistem pembayaran tidak ada pengaturan yang jelas.
2. Segment Pasar
Microfinance memiliki keunikan dalam melayani masyarakat yakni terfokus pada masyarakat miskin yang terbagi menjadi empat kelompok:
Kelompok I yakni the poorest of the poor. Penduduk miskin yang tidak memiliki sumber pendapatan karena faktor usia, sakit, cacat fisik sehingga tidak memiliki pendapatan.
Kelompok II yaitu labouring poor. Kelompok miskin yang bekerja sebagai buruh dengan penghasilan sangat terbatas dan bersifat tidak tetap atau musiman yang umumnya bekerja di sektor pertanian atau sektor-sektor lain yang bersifat padat karya.
Kelompok III adalah self-employed poor. Merupakan penduduk miskin yang berpenghasilan relatif cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dengan bekerja di sektor informal.
Kelompok IV ialah enconomically active poor. Golongan yang telah memiliki kekuatan ekonomi dengan sumber pendapatan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar dan memiliki surplus income.
3. Tujuan
State of practice microfinance sekarang tidak terlepas dari sejarah kelahirannya yaitu untuk menanggulangi masalah-masalah yang berkaitan dengan kemiskinan. Selanjutnya pengembangan microfinance menjadi salah satu agenda untuk mencapai The Millennium Development Goals untuk mengurangi jumlah penduduk dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. Hal ini kemudian diperkuat dengan Resolusi PBB No.A/58/488 tentang the International Year of Microcredit 2005 yang mendorong microfinance sebagai sektor keuangan yang inklusif.

 Ada lima pola intervensi microfinanc, misalnya dalam pembiyaan yakni:
1. Income smoothing
Menutup kebutuhan keuangan karena adanya gap antara pendapatan dan pengeluaran karena faktor musim atau siklus upahan. Umumnya petani membutuhkan dana pada masa tanam untuk membeli sarana produksi dan memenuhi kebutuhan pokok rumah tangga. Hal yang sama juga terjadi pada para pekerja atau buruh yang menerima upah secara berkala.
2. Cash flow injection
Mengatasi aliran kas (terjadi kesenjangan antara aktiva lancar dan pasiva lancar) yang terutama bagi usaha mikro yang menerapkan sistem pembayaran kredit atau karena ada kebutuhan strategis misalnya untuk memenuhi kontrak bisnis yang bersifat sesaat.
3. Emergency relief
Merupakan asistensi keuangan untuk mengatasi kebutuhan mendadak karena adanya musibah keluarga, sakit dan bencana alam, kehilangan pekerjaan, biaya pendidikan dan kebutuhan jangka pendek lainnya karena umumnya masyarakat miskin tidak memiliki tabungan atau asuransi.
4. Asset building
Menyediakan dana yang bersifat jangka panjang untuk membeli aktiva tetap (peralatan rumah tangga), kendaraan, hewan ternak, properti , dan lain-lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau dapat dikonversikan kembali menjadi uang.
Secara empiris, efektivitas dari intervensi microfinance memberikan dampak yang positif terhadap rumah tangga. Secara umum mekanisme dampak tersebut dapat dijelaskan dan digambarkan sebagai berikut:
Pertama, akses keuangan yang berkelanjutan merupakan faktor produksi penting dalam kegiatan ekonomi masyarakat miskin yang dalam hal ini menghasilkan double impact yaitu pendapatan dan penyerapan tenaga kerja. Adanya pendapatan yang stabil akan mempermudah untuk mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari, pakaian, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan tempat tinggal yang layak, kendaraan, barang berharga, dan sebagainya. Dalam jangka panjang, akan mendorong terbentuknya rumah tangga yang mandiri dan sejahtera.
Kedua, adanya jaminan pembiayaan mendorong pengusaha mikro mengambil keputusan bisnis jangka panjang dan melakukan investasi yang menguntungkan.
Kehadiran lembaga microfinance akan meningkatkan awareness dan mendorong masyarakat miskin menggunakan instrumen moneter seperti tabungan, sistem pembayaran, transfer uang dan asuransi sehingga meningkatkan likuiditas dan dinamika ekonomi lokal.

Ketiga, efektivitas intervensi microfinance yang dijelaskan sebelumnya telah mendorong berbagai inisiatif mengembangkan produk dan jasa keuangan lainnya untuk melayani masyarakat miskin, antara lain housing microfinance.

Bagaimana pelayanan kepada nasabah mikro dapat menggerakkan perekonomian di suatu negara.
Saat ini pandangan terhadap bisnis mikro mulai berubah seiring dengan perkembangan kondisi dimana bisnis mikro ternyata relatif bisa survive dalam menghadapi krisis ekonomi. Di negara berkembang, jasa perbankan umumnya hanya menjangkau dari kurang 20% penduduk, dan sisanya tidak pernah terjangkau sama sekali oleh pelayanan lembaga keuangan formal, meski pun sektor ini jumlah dan potensinya sangat besar. Program microfinance dapat menyediakan pembiayaan kurang dari USD 10 sampai dengan USD 10.000. Jika kita dapat melayani penduduk yang termasuk dalam kategori economically active poor, serta diasumsikan 50% dari pelayanan berhasil, maka nasabah mikro yang berhasil lama kelamaan akan meningkat menjadi nasabah ritel yang potensial dan menyerap banyak tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja dan keberhasilan nasabah ritel akan mampu mendorong sektor riil disuatu negara.

SUMBER :
http://mikrobanker.wordpress.com/2009/01/11/apa-mengapa-dan-siapa-microfinance/
http://islamic-microfinance.blogspot.com/2009/01/pengertian-microfinance.html
http://edratna.wordpress.com/2007/04/21/bagaimana-microfinance-dapat-menggerakkan-ekonomi-masyarakat-berpenghasilan-rendah/

CREDIT UNION

PENGERTIAN CREDIT UNION
Koperasi kredit atau Credit Union atau biasa disingkat CU adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak di bidang simpan pinjam yang dimiliki dan dikelola oleh anggotanya, dan yang bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya sendiri.
Koperasi kredit memiliki tiga prinsip utama yaitu:
  1. Asas Swadaya (tabungan hanya diperoleh dari anggotanya)
  2. Asas Setia Kawan (pinjaman hanya diberikan kepada anggota), dan
  3. Asas Pendidikan dan Penyadaran (membangun watak adalah yang utama : hanya yang berwatak baik yang dapat diberi pinjaman).

SEJARAH CREDIT UNION
Gerakan Credit Union atau Koperasi Simpan pinjam sebenarnya sudah masuk ke indoneia pada tahun 1950, dibawa beberapa sukarelawan yang sudah mendirikan usaha – usaha simpan pinjam menurut prinsip Raiffeisien, pemerintah indonesia juga sudah pula menjalankan koperasi kredit dengan memakai sistem yang sama sejak tahun 1955 sampai  dengan tahun 1959.
Namun musibah terjadi pada permulaan tahun 1960-an, dimana inflasi melanda negeri kita sangat hebat, banyak usaha – usaha yang bergerak dibidang simpan – pinjam menjadi lumpuh, karena tidak bisa menentang inflasi yang kian melaju.
Koperasi – koperasi ini akhirnya banyak yang beralih menjadi Koperasi Konsumsi yang banyak berspekulasi uang, akhirnya koperasi – koperasi ala Raiffeisen tidak terdengar lagi  pada pertengahan tahun 1960-an dan yang bermunculan adalah Koperasi Serba Usaha.
Perubahan kondisi moneter terjadi pada awal pemerintahan Orde Baru, dimana ekonomi negara cenderung ke arah stabil. Stabilitas itu mulai terlihat mulai pada tahun 1967. Pada waktu itu pengerak ekonomi masyarakat mulai memikirkan pengembangan koperasi kredit dan mereka mulai menghubungi WOCCU atau Dewan Dunia Koperasi Kredit.WOCCU memberikan tanggapan yang sangat  positif dan mengirimkan salah satu tenaga ahlinya yaitu Mr. A.A Baily ke Indonesia, dalam pertemuan dengan Mr. A. A baily tersebut didiskusikan kemungkinan diperkenalkan dan dikembangkannya gagasan Credit Union di Indonesia sebagai sarana sekaligus wahana pengentasan masyarakat Marginal.
Sebagi tindak lanjut, beberapa orang mengadakan study circle secara perodik di Jakarta dan akhirnya bersepakat membentuk wadah bernama Credit Union Counselling Office (CUCO) pada awal Januari 1970 dipimpim oleh K. Albrecth Karim Arbie, SJ, untuk memimpin kegiatan operasionalnya, tahun 1971 Drs. Robby Tulus diangkat sebagai Managing Director.
Untuk mendapatkan legalitas dari pemerintah, CUCO Direktur Jendral Koperasi departemen tenaga kerja , transmigrasi dan koperasi yang pada masa itu dijabat oleh Ir. Ibnoe Soedjono, untuk menjajaki kemungkinan dikembangkannya Credit Union di Indonesia dan berlindung dibawah naungan Undang – Undang Perkoperasian yaitu, UU No. 12/1967.
Tanggapan sangat positif dari Direktur Jendral Koperasi memberikan masa Inkubasi selama 5 tahun untuk mengembangkan gagasan gerakan Kredit Union di Indonesia. Masa inkubasi berakhir dengan diadakannya Konferensi Nasional Koperasi Kredit bulan Agutus 1976 di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah, yang dihadiri juga oleh Ir. Ibnoe Soedjono sebagai Direktur Jendral Koperasi, dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jendral Koperasi, beliau memberikan restu kepada CUCO untuk melanjutkan kegiatan mengembangkan Credit Union di Indonesia dengan menyesuaikan diri kepada ketentuan – ketentuan  dalam UU no. 12/1967 tentang pokok – pokok Perkoperasian di Indonesia. Sejak itulah secara Nasional nama Koperasi Kredit di ganti dengan Credit Union, sedangkan Credit Union Counselling office (CUCO) diterjemahkan menjadi Biro Konsultasi Koperasi Kredit (BK3).
Tahun 1981 diselenggarakan Konferensi Nasional Koperasi Kredit Indonesia, dimana dibentuk organisasi baru bernama Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I)  dengan kepengurusan yang dipilih secara demokratis, terpilih sebagai ketua Drs. Robby Tulus. Terjadi pergantian nama dan sifat organisasi. Biro Konsultasi Koperasi Kredit (BK3) atau Credit Union Counselling Office (CUCO) menjadi Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) atau Credit Union Coordination of Indonesia (CUCO Indonesia) dan untuk daerah menjadi BK3D (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah). Saat ini BK3 berubah nama menjadi BKCU dan BK3I berubah menjadi Inkopdit.
KEADAAN CREDIT UNION
            Perlu disadari bahwa sistem organisasi  Gerakan Koperasi Kredit Indonesia agak berbeda dengan sistem organisasi Gerakan Credit Union Asia pada umumnya. Gerakan Koperasi Kredit Indonesia dengan alasan bahwa Negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau, maka dipertahankan sampai saat ini masih sistem tiga jenjang. Jenjang pertama adalah Koperasi Kredit primer (CU primer), jenjang kedua adalah Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) yang ada di propinsi atau beberapa kabupaten, jenjang ke tiga adalah Sekunder Nasinonal yaitu Induk Koperasi Kredit (Inkopdit). Melaksanakan sistem tiga jenjang ini ada baik dan ada buruknya, sehingga mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan usaha dari Koperasi Kredit secara keseluruhan.
            Dengan setapak demi setapak CUCO-Indonesia berusaha untuk mengelola usaha dengan dana yang bersumber dari internal gerakan yaitu : Interlending, Iuran Solidaritas dan Dana Perlindungan Bersama (Daperma). Mitra dari luar negeri sudah tidak lagi membiayai operasional bahkan biaya pendidikanpun dananya bersumber dari internal CUCO-Indonesia. Pada saat Indonesia dilanda dengan krisis multi dimensi (khususnya krisis ekonomi) sejak tahun 1998 CUCO-Indonesia mengkonsolidasi kegiatan dan sumber Daya sehingga dapat meneruskan aktivitas walaupun sedikit terganggu. Peristiwa tersebut menjadi bahan pelajaran bagi manajemen CUCO-Indonesia bagaimana mengelola dana yang jumlah terbatas namun dapat melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan.
            Sebelum ACCU membantu CUCO-Indonesia lewat program Indequa, Credit Union Microfinance Innovation (CUMI), Credit Union Competency Course (CUCC) dan Credit Union Directors Competency Course (CUDCC), CUCO-Indonesia telah melaksanakan program Pelatihan Pengurus dan Pelatihan Manager yang di support oleh Canadian Cooperative Asossiation (CCA) dari Kanada. Hal ini sangat memberikan pengaruh besar terhadap perubahan pola pikir baik para Pengurus maupun para manager Credit Union dari pola pikir sekedar arena kumpul-kumpul kearah pola pikir bahwa Credit Union adalah bisnis yang dimiliki oleh anggota dan untuk kesejahteraan anggotanya.
            Saat ini dengan adanya alat manajemen yang cukup canggih dikenalkan oleh ACCU yaitu Asses Branding maka menambah wawasan para pengurus dan Manager untuk meningkatkan kapasitas bangunan organisasi, manajemen dan Usaha yang semuanya harus direncanakan, ditindaklanjuti, secara konsisten dan diawasi dan pada akhirnya dievaluasi dengan Asses Branding. Semua strategi organisasi, manajemen dan usaha harus mengarahkan sesuai dengan metode Asses Branding. Karena itu sebelum melaksanakan Asses Branding, semua kopdit harus berusaha untuk proses profesionalisasi yang hakekatnya adalah perubahan metode pengelolaan tradisional ke arah pengelolaan secara professional.
            Faktanya memang harus diakui bahwa dari 900 Credit Union yang ada mungkin 30 % yang mengikuti dan mengalami perubahan dan 70 % perubahan sangat pelan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa masih banyak Credit union yang tidak mau mengangkat manager dan masih dikelola secara partime oleh pengurusnya, masih banyak Credit Union yang tidak menjalankan proses regenerasi dan tetap mempertahankan figure dari pendiri, masih banyak Credit union belum mau menggunakan software komputer masih sistem manual, masih banyak yang belum memiliki kantor dan hanya numpang pada rumah pengurus, masih banyak yang tidak mengikuti program Daperma dan ingin menanggung resiko sendiri-sendiri, padahal CUCO-Indonesia telah menetapkan criteria kopdit Ideal sejak tahun 2005.
Tahun 2005 CUCO-Indoneisa telah menetapkan kriteria Koperasi Kredit Ideal yang meliputi beberapa  komponen antara lain;
  • Sudah memiliki Badan Hukum Koperasi
  • Anggota minimal 1000 orang
  • Total Asset minimal Rp.1.000.000.000,-
  • Dikelola oleh karyawan atau Manager secara profesional
  • Pelayanan secara harian (enam hari seminggu)
  • Memiliki kantor permanent
  • Memiliki dan menerapkan Perencanaan Strategis
  • Memiliki Standar Operasional Manajemen (SOM) dan Standar Operasional Prosedur (SOP)
  • Menerapkan Teknologi informasi ( software computer, Email, website)
  • Pertumbuhan anggota minimal 35 % pertahun.

HARAPAN CREDIT UNION UNTUK KEDEPANNYA
            CUCO-Indonesia sudah 40 tahun bekerja, penuh dengan pengalaman yang suka maupun yang duka. Dari empat puluh tahun tersebut dapat dibagi ke dalam tiga masa pengembangan yaitu pertama, masa persemaian; kedua, masa pertumbuhan; ketiga, masa penguatan atau masa intensifikasi. Masa penguatan ini meliputi Penguatan Organisasi, Penguatan Manajemen dan Penguatan Usaha. Sejak tahun 2001 masa penguatan telah dijalankan, walaupun belum seluruhnya berjalan sesuai dengan rencana. Masa penguatan ditandai dengan dikenalkannya dengan pelayanan minimum dengan adanya kriteria kopdit ideal sejak tahun 2005.
            Jika kita menganalisa secara global maka beberapa kriteria kopdit Ideal itu sudah terpenuhi misalnya Rata-rata Asset per Kopdit Rp.8.735.152.566,- yaitu Rp.8,097 triliun dibagi dengan 927 kopdit. Demikian juga rata-rata jumlah anggota per kopdit ada 1.500 orang, dari 1.390.260 orang dibagai dengan 927 kopdit. Yang pelum tercapai adalah penguatan manajemen yang masih jauh dari harapan, hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan IT (Informasi dan Teknologi) baru 350 kopdit atau 38%, yang telah menggunakan Manager dengan wewenang penuh baru 250 kopdit atau 27%. Hal ini harus menjadi prioritas untuk 10 tahun ke depan sehingga Gerakan Koperasi Kredit Indonesia akan tergolong Gerakan Koperasi Kredit “lima besar se Asia” dari segi  total Asset, jumlah anggota dan kualitas pelayanan.
            Agar mencapai impian tersebut maka diperlukan suatu Rencana Strategis baru dengan penetapan sasaran yang fokus, terarah dan terintegrasi dari jenjang kopdit primer sampai kepada jenjang Inkopdit. Tanpa terintegrasi maka tidak akan menjadi suatu kekuatan yang nyata karena biasa terjadi pertumbuhannya tidak merata dan lebih fatal lagi akan terjadi kopdit/CU yang kuat menelan yang lemah atau kopdit/CU yang lambat akan ditinggalkan oleh yang cepat. Perencaan bersama merupakan suatu opsi jalan keluar, sehingga kopdit/CU yang masih kecil mendengar dan mau menerima masukan dari kopdit/CU yang besar, Kopdit/CU yang besar mau dan bersedia menggandeng tangan bagi kopdit/CU yang kecil.
            Dalam rangka mencapai impian gerakan koperasi kredit lima besar se Asia maka diperlukan kriteria kopdit/CU ideal tahun 2020 yang akan datang dengan kreteria sebagai berikut;
  1. Minimal anggota 20.000 orang
  2. Minimal Asset kopdit/CU Rp.100.milyar dengan simpanan saham Rp.80 milyar
  3. Penggunaan IT online dengan cabang-cabangnya
  4. Memiliki kantor permanen yang standar memenuhi kebutuhan kopdi/CU ideal
  5. 50 % dari kopdit/CU melaksanakan Asses Brending. 6. Setiap kopdit/CU memiliki SOM dan SOP.7.Pertumbuhan anggota pertahun 25 %
SUMBER :

Alasan Mengapa Koperasi di Indonesia Sulit Berkembang

Koperasi merupakan badan usaha milik bersama yang didirikan berdasarkan prinsip ekonomi kerakyatan  dan atas asas kekeluargaan . Namun, seiring berjalannya waktu koperasi yang sudah  berumur 15 tahun mengalami pasang-surut atau kemunduran.  Kemunduran tersebut terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:

1.      Kurangnya partisipasi anggota – dimana masyarakat belum lebih mengerti  tentang Koperasi, kurangnya pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh pengurus kepada para anggota Koperasi yang menjadi faktor utamanya, dan kegiatan Koperasi yang tidak berkembang membuat sumber daya modal menjadi terbatas.
2.      Sosialisasi Koperasi – tingkat partisipasi anggota koperasi yang rendah diakibatkan sosialisasi yang belum optimal, masyarakat belum tahu esensi dari koperasi itu sendiri (baik dari permodalan dan kepemilikannya), dan mereka berhak mengawasi kinerja pengurus.
3.      Manajemen – dimana Koperasi harus diarahkan pada orientasi strategi dan gerakan Koperasi  harus memiliki anggota yang mampu menghimpun dan memobilisasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang usaha.
4.      Permodalan – kurang berkembangnya Koperasi berkaitan dengan modal yang dimiliki. Kendalanya karena kurangnya dukungan modal yang kuat dan bergantung pada modal & sumber Koperasi itu sendiri.
5.      Sumber daya manusia – banyak anggota, pengurus dan pengelola Koperasi kurang mendukung jalannya Koperasi. Pendirian Koperasi  didasarkan atas dorongan yang dipaksakan oleh Pemerintah. Pengurus yang dipilih dalam rapat anggota seringkali berdasarkan status sosial. Pengelola yang ditunjuk oleh pengurus seringkali diambil dari kalangan yang kurang profesional dan bukan dari yang mempunyai mengalaman baik dari sisi akademik & penerapan dalam wirausaha.
6.      Kurangnya kesadaran masyarakat – perkembangan Koperasi di Indonesia bukan dari kesadaran masyarakat , tetapi muncul dari dukungan Pemerintah yang disosialisasikan kebawah.

Penyebab Koperasi Mengalami Kemunduruan
A. Permasalah Internal
Dalam permasalahan internal dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :
1. Keanggotaan dalam Koperasi , ditinjau dari segi kualitas masalah keaggotaan koperasi tercermin dalam :
·         Tingkat pendidikan mereka yang pada umumnya masih rendah
·         Ketrampilan dan keahlian yang dimiliki oleh para anggota terbatas
·         Sebagian dari anggota belum menyadari hak dan kewajiban mereka sebagai anggota.
·         Partisipasi mereka dalam kegiatan organisasi juga masih harus ditingkatkan. Apabila suatu koperasi mengadakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) banyak anggotanya yang tidak hadir. Akibatnya keputusan-keputusan yang dihasilkan tidak mereka rasakan sebagai keputusan yang mengikat.
·         Banyaknya anggota yang tidak mau bekerjasama dan mereka juga memiliki banyak utang kepada koperasi, hal ini menyebabkan modal yang ada dikoperasi semakin berkurang.
2. Pengurus Koperasi. Masalah yang menjadi penghambat berkembangnya koperasi dari sisi pengurus adalah :
·         Pengetahuan , ketrampilan, dan kemampuan anggota pengurusnya masih belum memadai
·         Pengurus belum mampu melaksanakan tugas mereka dengan semestinya.
·         Pengurus kurang berdedikasi terhadap kelangsungan hidup koperasi. Ini berarti bahwa kepribadian dan mental pengurus, pengawas, manajer belum berjiwa koperasi sehingga harus diperbaikilagi.
·         Pengurus kadang-kadang tidak jujur
·         Masih ada koperasi yang anggota pengurusnya kurang berusaha untuk menigkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Kursus-kursus yang diselenggarakan untuk pengurus koperasi sering tidak mereka hadiri.
·         Dalam kepengurusan koperasi sampai saat ini masih belum ada pembagian tugas yang jelas.
·         Pengurus koperasi kebanyakan yang sudah lanjut usia dan para tokoh masyarakat yang sudah memiliki jabatan ditempat lain, sehingga perhatiannya terhadap koperasi berkurang.
·         Pegurus masih belum mampu berkoordinasi dengan anggota, manajer, pengawas, dan instansi pemerintah dengan baik.
3. Pengawas Koperasi. Anggota dari badan pengawas koperasi banyak yang belum berfungsi. Hal ini di disebabkan oleh:
·         Kemampuan anggoota pengawas yang belum memadai, terlebih jika dibandingkan dengan semakin meningkatnya usaha koperasi.
·         Di pihak lain, pembukuan koperasi biasanya belum lengkap dan tidak siap untuk diperiksa.
·         Pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas koperasi sekunder dan kantor koperasi juga belum banyak membantu perkembangan kemampuan anggota pengawas ataupun peningkatan pembukuan koperasi. Pemeriksaan yang mereka lakukan terutama mengarah pada kepentingan permohonan kredit.
B. Permasalahan Eksternal:
  1. Bertambahnya persaingan dari badan usaha yang lain yang secara bebas memasuki bidang usaha yang sedang ditangani oleh koperasi
  2. Kurang adanya keterpaduan dan konsistensi antara program pengembangan koperasi dengan program pengembangan sub-sektor lain, sehingga program pengembangan sub-sektor koperasi seolah-olah berjalan sendiri, tanpa dukungan dan partisipasi dari program pengembangan sektor lainnya.
  3. Dirasakan adanya praktek dunia usaha yang mengesampingkan semangat usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan gotong-royong.
  4. Masih adanya sebagian besar masyarakat yang belum memahami dan menghayati pentingnya berkoperasi sebagai satu pilihan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
  5. Tingkat harga yang selalu berubah (naik) sehingga pendapatan penjualan sekarang tidak dapat dimanfaatkan untuk meneruskan usaha, justru menciutkan usaha.
  6. Sebagai organisasi yang membawa unsur pembaruan, koperasi sering membawa nilai-nilai baru yang kadang-kadang kurang sesuai dengan nilai yang dianut oleh masyarakat yang lemah dan miskin terutama yang berada di pedesaan.
  7. Belum terciptanya pola dan bentuk-bentuk kerjasama yang serasi, baik antar koperasi secara horizontal dan vertikal maupun kerjasama antara koperasi dengan BUMN dan Swasta.
Selain itu Koperasi sulit berkembang diantara lain disebabkan oleh :
·         Pemanjaan Koperasi
Pemerintah terlalu memanjakan koperasi, ini juga menjadi alasan kuat mengapa koperasi Indonesia tidak maju maju. Koperasi banyak dibantu pemerintah lewat dana dana segar tanpa ada pengawasan terhadap bantuan tersebut. Sifat bantuanya pun tidak wajib dikembalikan. Tentu saja ini menjadi bantuan yang tidak mendidik, koperasi menjadi ”manja” dan tidak mandiri hanya menunggu bantuan selanjutnya dari pemerintah. Selain merugikan pemerintah bantuan seperti ini pula akan menjadikan koperasi tidak bisa bersaing karena terus terusan menjadi benalu negara. Seharusnya pemerintah mengucurkan bantuan dengan sistem pengawasan nya yang baik, walaupun dananya bentuknya hibah yang tidak perlu dikembalikan. Dengan demikian akan membantu koperasi menjadi lebih profesional, mandiri dan mampu bersaing.
·         Kesadaran Masyarakat Untuk Berkoperasi Masih Lemah
Masyarakat masih sulit untuk sadar berkoperasi, terutama anak-anak muda. Kesadaran yang masih lemah tersebut bias disebabkan kurang menariknya koperasi di Indonesia untuk dijadikan sebagai suatu usaha bersama. Selain itu para pemuda-pemudi lebih sukamenghabiskan waktu di luar daripada melakukan kegiatan didalam koperasi karena bagi pemuda terkesan “Kuno”.
·         Sulitnya Anggota Untuk Keluar dari Koperasi
Seorang anggota koperasi maupun pemilik koperasi akan sulit untuk melepaskan koperasi tersebut, kenapa ? Karena sulitnya menciptakan regenerasi dalam koperasi tersebut. Dengan sulitnya regenerasi maka seseorang akan merasa jenuh saat terlalu dalam posisi yang ia tempati namun saat ingin melepaskan jabatannya sulit untuk mendapatkan pengganti yang cocok yang bias mengembangkan koperasi tersebut lebih lanjut.
·         Demokrasi ekonomi yang kurang
Dalam arti kata demokrasi ekonomi yang kurang ini dapat diartikan bahwa masih ada banyak koperasi yang tidak diberikan keleluasaan dalam menjalankan setiap tindakannya. Setiap koperasi seharusnya dapat secara leluasa memberikan pelayanan terhadap masyarakat, karena koperasi sangat membantu meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat oleh segala jasa – jasa yang diberikan, tetapi hal tersebut sangat jauh dari apa ayang kita piirkan. Keleluasaan yang dilakukan oleh badan koperasi masih sangat minim, dapat dicontohkan bahwa KUD tidak dapat memberikan pinjaman terhadap masyarakat dalam memberikan pinjaman, untuk usaha masyarakat itu sendiri tanpa melalui persetujuan oleh tingkat kecamatan dll. Oleh karena itu seharusnya koperasi diberikan sedikit keleluasaan untuk memberikan pelayanan terhadap anggotanya secara lebih mudah, tanpa syarat yang sangat sulit
·         Manajemen Koperasi
Manajemen koperasi harus diarahkan pada orientasi strategik dan gerakan koperasi harus memiliki manusia-manusia yang mampu menghimpun dan memobilisasikan berbagai sumber daya yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang usaha. Oleh karena itu koperasi harus teliti dalam memilih pengurus maupun pengelola agar badan usaha yang didirikan akan berkembang dengan baik. Ketidak profesionalan manajemen koperasi banyak terjadi di koperasi koperasi yang anggota dan pengurusnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. contohnya banyak terjadi pada KUD yang nota bene di daerah terpencil. Banyak sekali KUD yang bangkrut karena manajemenya kurang profesional baik itu dalam sistem kelola usahanya, dari segi sumberdaya manusianya maupun finansialnya. Banyak terjadi KUD yang hanya menjadi tempat bagi pengurusnya yang korupsi akan dana bantuan dari pemerintah yang banyak mengucur.
·         Harga Barang di Koperasi Lebih Mahal Dibandingkan Harga Pasar
Masyarakat jadi enggan untuk membeli barang dikoperasi karena harganya yang lebih mahal dibandingkan harga pasar. Bagi masyarakat Indonesia konsumen akan memilih untuk membeli suatu barang dengan harga yang murah dengan kualitas yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan koperasi. Dengan enggannya masyarakat untuk bertransaksi di koperasi sudah pasti laba yang dihasilkan oleh koperasi-pun sedikit bahkan merugi sehingga perkembangan koperasi berjalan lamban bahkan tidak berjalan sama sekali.
·         Kurang Dirasakan Peran dan Manfaat Koperasi Bagi Anggota dan Masyarakat
Peran dan Manfaat koperasi belum dapat dirasakan oleh anggotanya serta masyarakat karena Koperasi belum mampu meyakinkan anggota serta masyarakat untuk berkoperasi dan kurang baiknya manajemen serta kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi.
·         Kurang Adanya Keterpaduan dan Konsistensi
Dengan kurang adanya keterpaduan dan Konsistensi antara program pengembangan koperasi dengan program pengembangan sub-sektor lain, maka program pengembangan sub-sektor koperasi seolah-olah berjalan sendiri, tanpa dukungan dan partisipasi dari program pengembangan sektor lainnya.
Kunci Pembangunan Koperasi
Menurut Ace Partadiredja dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan koperasi Indonesia adalah rendahnya tingkat kecerdasan masyarakat Indonesia.Menurut Baharuddin faktor penghambat dalam pembangunan koperasi adalah kurangnya dedikasi pengurus terhadap kelangsungan hidup koperasi. Ini berarti bahwa kepribadian dan mental pengurus, pengawas, dan manajer belum berjiwa koperasi sehingga masih perlu diperbaiki lagi.
Prof. Wagiono Ismangil berpendapat bahwa faktor penghambat kemajuan koperasi adalah kurangnya kerja sama di bidang ekonomi dari masyarakat kota. Kerja sama di bidang sosial (gotong royong) memang sudah kuat, tetapi kerja sama di bidang usaha dirasakan masih lemah, padahal kerja sama di bidang ekonomi merupakan faktor yang sangat menentukan kemajuan lembaga koperasi.
Dekan Fakultas Administrasi Bisnis universitas Nebraska Gaay Schwediman, berpendapat bahwa untuk kemajuan koperasi maka manajemen tradisional perlu diganti dengan manajemen modern yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a)      semua anggota diperlakukan secara adil,
b)      didukung administrasi yang canggih,
c)      koperasi yang kecil dan lemah dapat bergabung (merjer) agar menjadi koperasi yang lebih kuat dan sehat,
d)      pembuatan kebijakan dipusatkan pada sentra-sentra yang layak,
e)      petugas pemasaran koperasi harus bersifat agresif dengan menjemput bola bukan hanya menunggu pembeli,
f)       kebijakan penerimaan pegawai didasarkan atas kebutuhan, yaitu yang terbaik untuk kepentingan koperasi,
g)      manajer selalu memperhatikan fungsi perencanaan dan masalah yang strategis,
h)      memprioritaskan keuntungan tanpa mengabaikan pelayanan yang baik kepada anggota dan pelanggan lainnya,
i)        perhatian manajemen pada faktor persaingan eksternal harus seimbang dengan masalah internal dan harus selalu melakukan konsultasi dengan pengurus dan pengawas
j)        keputusan usaha dibuat berdasarkan keyakinan untuk memperhatikan kelangsungan organisasi dalam jangka panjang,
k)      selalu memikirkan pembinaan dan promosi karyawan,

l)        pendidikan anggota menjadi salah satu program yang rutin untuk dilaksanakan.
sumber: