Sunday 20 December 2015

Pelanggaran Etika Profesi Akuntansi oleh PT. KAI

“Manipulasi Laporan Keuangan PT. Kereta Api Indonesia Tahun 2005”
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp. 63 Miliar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun 2005 :
Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek.
Kasus PT KAI di atas menurut beberapa sumber yang saya dapat, berawal dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima umum sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak menguasai prinsip akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya. Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi permasalahan adalah pihak auditor menyatakan Laporan Keuangan itu wajar. Tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut dipertanyakan.
Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran. Kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan baik oleh para akuntan. Etika profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal itu penting karena ada keterkaitan kinerja akuntan dengan kepentingan dari berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan. Pemerintah, kreditor, masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui prospek ke depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan harus mendapat perhatian khusus. Tindakan tegas perlu dilakukan.

ANALISIS :
Pengertian Etika
Menurut saya, Etika yang dianut oleh PT. Kereta Api Indonesia (KAI) adalah Salah, karena mereka menganggap penagihan pajak pada pihak ketiga yang tidak ditangani secara serius dapa menimbulkan kekeliruan pencatatan hanya dikatagorikan sebagai perbedaan presepsi dalam pecatatan pajak pihak ke-3.Direktur PT. Kereta Api Indonesia (KAI) seharusnya menanggapi atau mengkoreksi lebih lanjut mengenai semua akun dalam laporan keuangan untuk meminimalkan kekeliruan dalam pencatatan laporan keuangan, sehingga laporan keuangan yang dihasilkan lebih baik dan akura.

Direktur PT. Kereta Api Indonesia (KAI) berhak ambil bagian dalam penelusuran hasil laporan keuangan yang dibuat oleh bagian akuntasi keuangan pada laporan keuangan 5 tahun terakhir yang menjadi permasalahan, dan persoalan kekeliruan pencatatan tersebut dapa mepengaruhi citra dari PT. Kereta Api Indonesia (KAI) yang akan datang.

PT. Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai salah satu perusahaan BUMN seharusnya dapat mengelola pencatatan laporan keuangan dengan baik sehingga tidak terjadi kekeliruan perbedaan presepsi antar karyawan bagian pencatatan laporan keuangan. Direktur PT. Kereta Api Indonesia (KAI) harus turun tangan atau mengawasi jika terjadi perbedaan presepsi dalam pencatatan laporan keuangan mengenai tagihan pada pajak pihak ke-3 yang ternyata tak dapat tertagih dan mereka harus menjelaskan lebih detail dalam pencatatan yang tak tertagih tersebut agar tidak terjadi kekeliruan.

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 1 terdapat komponen laporan keuangan, yaitu Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Dalam laporan keuangan harus dicantumkan nama perusahaan, cangkupan laporan keuangan, tanggal atau periode yang dicangkup oleh laporan keuangan, mata uang pelaporan, satuan angka yang digunakan dalam penyajian laporan keuangan. Sedangkan penagihan Pajak pada Pihak Ke-3 yang dinyatakan sebagai pendapatan itu tidak dapat dikelompokan dalam bentuk pendapatan atau asset.

Berdasarkan penyataan Standar Akuntansi Keuangan No.1 PT. Kereta Api Indonesia (KAI) di bagian pencatatan laporan keuangan harus mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh Standar Akuntansi Keuangan.

Dipandang Dari Sisi Norma Hukum, Norma Agama, dan Norma Moral.

Dipandang dari sisi norma hukum sebagai sebuah badan usaha yang memiliki bagian yang mencatat seluruh aktivitas keuangan badan tersebut mempunyai hukum yang berlaku dalam keaslian penyajian laporan keuangan tersebut. Karena kekeliruan yang terjadi menimbulkan opsi dimasyarakat sebagai manipulasi laporan keuangan yang bisa disebut juga pemalsuan penyajian laporan keuangan dan dapat di tindak pidana penipuan.

Dipandang dari sisi norma agama sebagai sebuah badan usaha yang telah mendapatkan kepercayaan di masyarakat, seharusnya bagian pencatatan menyajikan laporan keuangan harus sebenar benarnya dan sepaham dengan karyawan yang lainnya, dan apa bila tidak mengetahui posisi akun mana yang harus di isi apabila terjadi piutang tak tertagih berdampak dengan akun apa yang bersangkutan seharusnya si pencatat laporan keuangan tersebut menanyakan kepada orang yang memiliki wewenang tertinggi di PT. Kereta Api Indonesia (KAI), sehingga dapat membuat laporan keuangan yang dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.

Dipandang dari sisi norma moral, PT. Kereta Api Indonesia (KAI) harus mempunyai prinsip yang tegas untuk mematuhi ajaran atau pedoman yang diterima secara umum dengan mengikuti segala perbuatan, sikap, dan kewajiban demi kebaikan bersama dan nama baik PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

Fungsi Etika

PT. Kereta Api Indonesia (KAI) menjelaskan bahwa adanya kekeliruan atau perbedaan presepsi mengenai pencatapan piutang yang tak tertagih pada pihak ke-3. Terdapat pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak ke-3 itu bukan pendapatan, sehingga PT. Kereta Api Indonesia (KAI) menderita kerugian sebesar Rp. 63 Milyar. Sebaliknya, ada pula pihak yang berpendapat bahwa piutang yang tak tertagih tetap dapat dimasukkan sebagai pendapatan, sehingga PT. Kereta Api Indonesia (KAI) meraih keuntungan sebesar Rp.6,9 Milyar. Penjelasan ini yang membuat PT. Kereta Api Indonesia (KAI) merasakan adanya kekeliruan yang membuat citra PT. Kereta Api Indonesia (KAI) tercoreng karena anggapan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) memanipulasi laporan keuangannya.

Etika dan Etiket

PT. Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai badan usaha milik negara yang usahanya berhubungan atau berinteraksi langsung dengan manusia, harus menjaga etika dan etiketnya dalam menjaga nama baik, serta kepercayaan yang ada pada masyarakat untuk menjaga kelangsungan hidup usahanya di bidang transportasi masyarakat. Dalam etika dan etiket terdapat suatu aturan yang harus diikuti secara umum. Misalnya, pecatatan dalam menyajikan laporan keuangan yang dibuat oleh bagian keuangan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) harus berfikiran laporan yang dibuatnya itu terbebas dari keteledoran yang dapat menimbulkan persoalan yang panjang dan mereka memegang teguh etika dan etiket yang berlaku di PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

PT. Kereta Api Indonesia (KAI) harus memegang etiket dengan mengikuti tiap prosedur yang berlaku di Kantor BUMN yang mempunyai otoritas dalam persoalan ini. Sikap yang bijak yang merupakan ciri PT. Kereta Api Indonesia (KAI) adalah memegang etiket dengan meneliti bukti –bukti yang sangat kompeten untuk memecahkan persoalan perbedaan presepsi ini.

PT. Kereta Api Indonesia (KAI) memounyai etika yaitu harus mengikuti aturan yang berlaku di kantor BUMN dan juga oleh kantor BPK dalam menyajikan laporan keuangan, dan dapat membedakan mana yang dianggap yang terbaik untuk perusahaannya, karena tidak hanya untuk menjaga nama baik perusahaan diamata public, namun PT. Kereta Api Indonesia (KAI) di sisi internalnya juga harus memperhatikan etikan kepada pihak – pihak dalam perusahaan tersebut.

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pelanggaran Etika :

Menurut saya, pelanggaran tersebut terjadi karena dalam intern PT. Kereta Api Indonesia (KAI) yang melakukan pencatatan dalam menyajikan laporan keuangan ini memiliki sifat yang selalu merasa tak berkecukupan sehingga ada kemungkinan yang melakukan pencatatan ingin memperkaya diri dengan tidak sengaja, dan penagih pajak kepada pihak ke-3 juga tidak melaksanakan tugasnya atau ia telah melaksanakan tugasnya tetapi uang tersebut dibagikan kepada pihak lain atau mungkin lupa untuk menagih kepada pihak ke-3. Tidak adanya pedoman atau pengawasan yang sangat ketat yang membuat pelanggaran tersebut bisa terjadi, serta perilaku individu yang melakukan pencatatan tidak melaksanakan tugasnya dengan jujur, dan lingkungan dibagian keuangan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) juga bisa jadi merupakan lingkungan yang karyawannya bekerja yang semena – mena atau hanya semaunya sendiri atau sering melakukan kecurangan. Sehingga, lingkungan seperti itu dapat terjadi kecurangan seperti memanipulasi laporan keuangan tersebut, dan menurut yang melakukan itu mungki baginya itu merupakan hal sangat wajar atau sesuatu hal yang biasa dan bukan lagi merupakan suatu permasalahan yang serius serta tak perlu dibesar – besarkan. Apalagi, kecurangan ini dilakukan bukan oleh seorang individu, melainkan sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama tanpa memikirkan apa yang dilakukannya itu dapat merugikan pihak lain.

Sanksi Pelanggaran Etika :

Jika dilihat dari penjelasan dari bagian pencatatan laporan keuangan PT. Kereta Api Indonesia (KAI), bisa dikatakan kemungkinan kesalahan yang dilakukan relatif kecil dan bisa dimaafkan jika benar yang terjadi hanyalah kekeliruan perbedaan presepsi piutang tak tertagih. PT. Kereta Api Indonesia (KAI) bisa terkena sanksi social dari masyarakat atas kecerobohan yang mereka lakukan.

Jenis – Jenis Etika
Etika yang berlaku umum sebagai individu ataupun kelompok, hidup dengan saling bergantung pada pihak lain. Begitu pula dengan badan usaha yang sudah dikenal publik secara luas seperti PT. Kereta Api Indonesia (KAI) harus mengikuti etika umum yang dapat diterima oleh masyarakat agar semakin dikenal dengan nama yang baik.
PT. Kereta Api Indonesia (KAI) harus mengikuti aturan dalam menyajikan laporan keuangan yang berlaku sesuai PSAK yang ada di Indonesia, sehingga tidak terjadi lagi permasalahan perbedaan presepsi piutang tak tertagih pihak ke-3.

PT. Kereta Api Indonesia (KAI) harus bersahabat dengan pihak yang secara langsung dan tidak langsung dengan usaha yang dijalankannya. Dari sisi sosial, PT. Kereta Api Indonesia (KAI) harus menjaga sikap dan akredibilitas untuk menjaga nama baik keluarga besar PT. Kereta Api Indonesia (KAI), jangan karena kesalahan seseorang maka nama baik menjadi rusak.

Teori Etika
Teleology
Tindakan yang dilakukan oleh bagian pencatatan keuangan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) melakukan ketidakpatuhan dalam menyajikan laporan keuangan dengan tidak menanyakan pencatatan apa yang harus dilakukan apa bila ada piutang yang tak tertagih pada pihak ke-3. Membuat presepsi yang berbeda beda dapat mengakibatkan persoalan yang sangat rumit. Hal ini terjadi karena seseorang menganggap dirinya benar dengan menuliskan piutang tak tertagih sebagai pendapatan dan mengakibatkan kesalah pahaman dalam laporan keuangan yang di terbitkan ke pada direktur PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dan merupakan perbuatan yang bermoral tidak baik.
Terdapat unsur egoism dimana ada pihak di bagian pencatatan laporan keuangan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) yang ingin merasa bahwa dirinya merasa benar dan dapat menguntungkan dirinya sendiri tidak memperdulikan pihak lain seperti direktur PT. Kereta Api Indonesia (KAI).

Beberapa Sistem Filsafat Moral
Pada kasus PT. Kereta Api Indonesia (KAI), mengandung sistem filsafat moral hedonism karena membuat laporan keuangan sesuai pendapatnya sendiri tanpa mengkoreksi piutang yang tak ditagih kepada pihak ke-3.dan pihak-pihak tertentu ingin merasakan kesenangan semata tanpa memikirkan citra PT. Kereta Api Indonesia (KAI) di masyarakat. Kesenangan yang didapatkan dari etiket yang tidak baik ini, hanya dirasakan lewat materi yang berlimpah atau jalur karir yang baik namun tidak membebaskan mereka dari rasa takut dan bersalah atas perbuatan yang mereka lakukan.

PT. Kereta Api Indonesia (KAI) menganut sistem filsafat moral eudemonisme karena tujuan akhir dari suatu perusahaan adalah menjaga kelangsungan hidup usaha untuk terus bertahan bahkan berkembang di dunia usaha yang semakin berkembang pula. Hal yang dilakukan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) adalah menjalankan semua usahanya sebaik-baiknya untuk tujuan akhir tersebut, dalam kasus ini mereka berusaha menjelaskan bahwa tidak ada kesalahan yang disengaja dari laporan keuangan mereka sebagai bentuk pernyataan bahwa mereka terus menjaga etiket dan etikanya dengan baik.

Selain menganut sistem filsafat moral hedonisme dan eudemonisme PT. Kereta Api Indonesia (KAI) juga menganut sistem filsafat moral utilitarianisme. Hal tersebut didasari dari kesusahan yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Pada dasarnya, perusahaan mencari hal-hal yang menguntungkan dan menjahui hal-hal yang bisa merugikan usahanya. Usaha yang dilakukan PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dalam hal ini memberikan penjelasan kesalahan perbedaan presepsi yang menyebabkan ketidakcocokan antara laporan keuangan yang telah di audit. Kita bisa menilai apakah itu usaha yang baik atau buruk dari seberapa besar manfaat yang didapatkan oleh pihak-pihak yang terpengaruh dari usaha itu sendiri. Tentunya menimbang manfaat dari usaha tersebut bisa mencerminkan moralitas yang dilakukan oleh perusahaan.
Refrensi

0 comments:

Post a Comment